JawaPos.com – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) meminta agar Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) memprioritaskan korban. Baik itu berupa perlindungan dan pemenuhan hak korban, maupun rasa keadilan bagi korban.
“Ini adalah kemajuan penting dalam hukum pidana yang memperlihatkan perspektif korban dalam pemidanaan. Kami juga mengapresiasi kecermatan DPR RI yang mengingatkan pemerintah agar tidak menggunakan istilah keadilan restoratif untuk menyatakan larangan melakukan penyelesaian di luar pengadilan terhadap kasus kekerasan seksual,” kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati kepada wartawan, Minggu (3/4).
Pembahasan tentang sita dan perampasan harta pelaku untuk memenuhi restitusi menempati porsi pembahasan cukup mendalam. Khususnya mengenai kedudukan harta, baik pelaku individu maupun pelaku korporasi.
Di satu sisi, sangat penting untuk memastikan tidak ada korban baru sebagai dampak perampasan tersebut, dalam hal ini keluarga pelaku. Namun pengaturan tentang perampasan harta tersebut juga harus memenuhi hak korban serta memberikan efek jera. Sehingga dapat menjadi sebuah langkah pencegahan tindak kekerasan seksual di masyarakat
Pemerintah dan DPR RI juga menyepakati bahwa keterangan saksi dan/atau korban merupakan alat bukti yang sah bila disertai dengan satu alat bukti sah lainnya. Ditambah hakim memiliki keyakinan bahwa tindak pidana itu benar terjadi.
Kemudian dalam pembahasan tentang pendampingan korban dan saksi, pemerintah telah menambahkan rumusan dengan memasukkan Pekerja Sosial sebagai pihak yang bisa melakukan pendampingan dengan mengacu pada UU 14 Tahun 2019 tentang Pekerja Sosial dan UU 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Editor : Estu Suryowati
Reporter : Sabik Aji Taufan
#RUU #TPKS #Harus #Beri #Keadilan #untuk #Korban
Sumber : www.jawapos.com